Tempat yang Tak Terjangkau

Kau tidak akan pernah mengerti makna tangis seseorang,

hingga kau bertanya tangisnya karena sedih atau senang

Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya akan menginjakkan kaki di tempat yang konon bagi sebagian besar orang dianggap tidak layak untuk dikunjungi ini. Terlebih untuk orang-orang yang sangat agamis atau terkenal menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Biasanya saya mengutuk tempat-tempat semacam ini. Saya menyalahkan orang-orang yang ada di sini. Selalu bertanya-tanya setiap telinga mendengar nama tempat ini tentang kenapa dan bagaimana. Agaknya saya terlalu sensitif dengan tempat ini. Tempat yang selalu diperdebatkan tanpa ada habisnya oleh banyak kalangan, entah intelektual, ulama, pedagang, maupun dari kalangan pejabat.

Selama ini saya hanya bisa mengamati dari kejauhan, tanpa berani mendekat, tanpa berani menghadapkan wajah ke arahnya. Tempat yang selalu dipandang rusak, kotor, dan tidak layak bagi seorang manusia bermoral menginjakkan kaki di dalamnya. Tempat ini sebelumnya bagi saya hanya sebuah tempat yang tak akan pernah terjangkau.

Gang demi gang saya telusuri. Sempat salah jalan di daerah yang memiliki banyak percabangan jalan merupakan hal yang biasa. Apalagi bagi saya yang baru merasakan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia ini sekitar 4 tahunan. Saya justru kali pertama melewati jalanan ini, sementara kawan saya yang sedang bergaya bak tourist guide memacu sepeda motor dengan santainya. Wajar, orang asli Surabaya. Saya mengikuti terus hingga sampai pada satu gang yang secara kasat mata tidak terlihat aneh.

“Parkir di sini aja”, suruh dia sambil melepaskan helmnya. Saya menurut. Sebagai orang yang tidak tahu apa-apa, tidak mengenal daerah ini sebelumnya, saya tidak berani durhaka pada teman saya, bahkan sekedar bilang “Ah, di sana aja!”. Kali ini saya benar-benar seperti anak kecil yang manis.

“Ini bukan daerah Dolly-nya, tapi ini cuma lokalisasi kelas C”, dia berkata seolah-olah saya tidak tahu apa-apa. Dan memang pada kenyataannya saya tidak tahu apa-apa. Sekali lagi saya tidak banyak bicara, hanya ber-o panjang sambil menengok ke kiri dan ke kanan.

Tak ada yang aneh sedikitpun saat saya melangkah sekitar 5 meteran. Namun, suasana berbeda saya dapatkan setelahnya. Club-club kecil berjajar, bertuliskan “Karaoke” di mana-mana. Alunan musik dangdut merangsek masuk ke celah-celah rongga telinga saya yang sangat sensitif dengan genre musik ini. Katanya ini yang kelas C alias yang biasanya disebut kelas ekonomi. Saya tidak mau membayangkan bagaimana yang kelas A dan B. Mungkin yang tampak jauh lebih menyeramkan dari apa yang saat ini saya lihat. Ya, di samping kiri-kanan saya hanya berderet semacam club yang di dalamnya bisa difungsikan untuk bernyanyi gembira, atau bisa jadi lebih dari sekedar bernyanyi saja.

Saya jujur, saudara-saudaraku semua. Saya menginjakkan kaki di kawasan lokalisasi. Bukan untuk  rekreasi, tapi untuk sebuah liputan khusus bersama teman saya. Sepanjang jalan saya hanya berdoa, semoga kami tidak mengalami gangguan dari manusia-manusia senewen yang ada di situ. Oh, saya tidak mau membayangkan macam-macam.

Oh Tuhan, saya belum menikah!

Saya tidak tahu kenapa yang terpikirkan justru itu. Barangkali akal sehat saya hampir didominasi oleh perasaan parno pada tempat yang berada di hadapan saya. Saya mengalami sindrom paranoid yang hampir tak terkendali.

Ya, barangkali saatnya mengetahui apa yang selama ini belum saya ketahui. Mengetahui yang sebenarnya, tanpa melewati jalur lisan yang rawan misinterpretasi. Dan jangan sekali-kali kalian datang ke sini tanpa ada orang yang menemani! Kau tahu apa akibatnya, kan?

Ingat, ini bukan sekedar penasaran dan bisa buat main-mainan!

—-88—

Meyra Kaha

2 comments
  1. Artika said:

    WE WANT MORE!
    WE WANT MORE!
    #mendadakdemo

    • tunggu episode berikutnya ya mbak. Kami tayang tiap minggu #mengikutitrenddramakorea

Tinggalkan komentar